Di dalam qashidah “Uktum Hawana” karya Syekh Abubakar bin Salim terdapat bait-bait berikut ini:
“Simpanlah apa yang aku senangi, jika kamu mengharapkan ridhaku. Jangan
sampai disebar-sebarkan rahasiaku kepada orang selain kami.”
Kami di sini yang dimaksud adalah para auliya’. Dan Syekh Abubakar bin Salim adalah pemimpinnya.
“Kamu
harus tawadhu’ kepada kami kalau kamu ingin berhubungan dengan kami.
Tinggalkan segala keinginan kamu kalau kamu ingin keinginanku.”
Jadi di hadapan auliya’ harus kosong, tidak ada kesombongan (kibr)
sedikitpun, harus tawadhu’ Jangan ingin macam-macam,yang akhirnya kamu
tak mendapatkan berkah. “Baghoina fulus, bghoina tajir, ingin uang
banyak”. Jangan minta apa-apa! Nanti dia akan mengisi sebagaimana yang
dia harapkan. Harapan kamu itu harapan remeh, sedangkan harapan dia
untuk kamu adalah harapan yang besar. Jangan kamu berharap bagaimana
kamu dapat uang banyak, rizkinya banyak, dll. Kosongkan hati kamu, baru
nanti akan diisi asrar oleh mereka.
Kenapa? Harapan dia untuk
diri kamu, yang diharapkan oleh auliya’, yang diinginkan auliya’ untuk
diri kamu itu lebih besar dari apa yang diharapkan kamu untuk diri kamu.
Jadi di hadapan mereka mestinya diam saja. Lebih baik kamu jadi tong
kosong. Tong kosong tapi jangan nyaring bunyinya. Jadi perlu untuk
farogh, perlu bersih hati, jangan berharap apa-apa.
Saya ingin
ini, ingin itu, tidak usah kepingin sudah. Buang itu kepingin, tapi
katakan dalam hati kamu: “Saya ingin yang diingini oleh wali ini. Saya
ingin apa yang diingini oleh orang ‘arif ini”, niscaya kamu akan sampai
seperti mereka nanti.
Syeikh Abu Yazid al-Busthami berkata:
“Lau i’taqodtum anna al-bissa ta’kulu al-faaroh bighoiri idznii, maa
ahsantum adz-dzonn bii.” (Wahai santriku, kalau seandainya kamu masih
meyakini ada kucing makan tikus bukan karena perintahku, bukan karena
idzinku, berarti kamu masih belum husnudzdzon kepadaku).
Pasrah
total saja kalau sama auliya’. Kalau disuruh nyebur sumur, nyebur.
Seperti Syeikh Umar Bamakhromah dengan Syeikh Abdurrahman al-Akhdhor,
disuruh melemparkan diri dari gunung.
Ingin asrar, ingin sirr gitu, tidak gampang. “Harus ujian.” “Ya kher.” “Siap ente diuji?” “Siap”.
Kamu naik ke gunung lemparkan dirimu dari atas gunung. Kalau kita kan
berfikir: “Maghrum..” Harus dibuang itu segala keraguan, segala
keinginan kalau kepada syaikhul ‘arif. Sampai di atas, ia lihat
batu-batuan di bawahnya, merem terus dilemparkan dirinya. Tidak ada
lecet meskipun sedikit. Datang kepada gurunya ditanya: “Terbuka mata
atau merem?” “Merem.” Disuruh balik lagi dengan mata terbuka. Jadi tak
gampang.
Justru itu kalau di hadapan seorang wali, jangan punya
keinginan apa-apa. Harapkan dari kamu: “Saya ingin seperti apa yang
diingini wali itu”, nanti akhirnya mendapatkan sesuatu yang besar.
(Dikutip dari Rouhah al-Habib Taufiq bin Abdulqadir Assegaf Pasuruan)